12 Maret 2011

Dracula

Fakta yang Menjadi Fiksi
(Makalah ini disampaikan dalam bedah buku "Dracula, Pembantai Umat Islam
dalam Perang" di auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM)
Oleh: Ragil Nugroho
Sejarah semestinya menjadi cermin paling jernih bagi umat manusia untuk
menatap masa depan. Tetapi bagaimana kalau sejarah telah dibelokan oleh
kelompok pemenang?
Sejarah Superhero
Filsuf dan sekaligus aktivis gerakan kiri Italia, Antonio Gramsci, dalam
teorinya tentang hegemoni (peracunan kesadaran), mengungkapkan bahwa
seringkali sejarah ditentukan oleh kekuasaan yang menang. Sejarah semacam
ini akan memuja kelas yang berkuasa dan sekaligus mencemooh kelas yang
kalah; ia hanya akan berbicara tentang para raja bukan tentang para kawula.
Akibatnya, kelas yang subaltern (dikalahkan) harus berada di luar gelanggang
sejarah, yang artinya tidak mempunyai peran apa-apa dalam sejarah.
Sehingga tepat kalau sejarah jenis ini disebut sejarah "Superhero".
Lebih lanjut Gramsci dalam bukunya yang cukup fenomenal, Notes on Italian
History (1934), menuturkan bahwa sebetulnya kelas subaltern—mereka ini
terdiri dari petani, buruh, kaum miskin perkotaan, gelandangan dan kelompokkelompok
lain yang termarjinalkan— mempunyai sejarah sendiri yang tidak
kalah kompleksnya dengan sejarah kelas yang berkuasa. Akan tetapi, akibat
posisi yang tertindas membuat mereka tak bisa menuliskan sejarah mereka
sendiri dan harus menerima "sejarah resmi" yang dibuat oleh kelas yang
berkuasa.
Teori yang dikemukan Gramsci di muka sangat tepat untuk melihat penulisan
sejarah yang dominan dewasa ini. Apa yang dikatakan oleh Gramci itu tampak
demikian kasat mata. Di antara sekian banyak negara, Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang gemar memproduksi sejarah superhero.
Agar gampang melihat fakta-faktanya tengok saja film-film produksi mereka
seperti Superman, Batman, Rambo dan lain sebagainya. Dalam kasus film
Rambo misalnya, terlihat dengan jelas bagaimana Amerika Serikat ingin selalu
menjadi bangsa pemenang walaupun mereka mengalami kekalahan telak di
Vietnam. Mereka ingin tetap menjadi superhero walaupun sebetulnya telah
terpuruk. Selain yang dilakukan oleh Amerika Serikat, sejarah superhero bisa
dilihat dari sejarah para diktator—semisal Stalin, Hilter, Mao. Para diktator
tersebut berusaha mengagung-agungkan sejarahnya sendiri agar diri mereka
layak disebut superhero. Apabila ada sejarah yang berlawan dengan yang
mereka inginkan, maka akan dibungkam untuk selama-lamanya.
Dalam khazanah penulisan sejarah di Indonesia sejarah superhero juga akan
banyak kita dapatkan. Para penguasa berusaha agar nama mereka digoreskan
dengan tinta emas, sebagai pahlawan, sementara musuh-musuh mereka harus
dikutuk menjadi manusia jahat atau menjadi hewan. Hal ini terlihat jelas
dalam sejarah para raja pada masa feodal. Prabu Airlangga misalnya,
menjadikan Calon Arang—musuh politiknya—sebagai tukang sihir yang suka
mandi darah. Panembahan Senopati juga melakukan hal serupa, dengan tipu
daya khas seorang Machialevis, menuduh Ki Ageng Mangir sebagai
pemberontak yang layak dibunuh. Atau, bagaimana Sangkuriang dikisahkan
dalam wujud manusia yang berubah menjadi seekor anjing akibat
penentangannya terhadap kekuasaan yang dominan saat itu.
Melangkah pada zaman yang lebih modern, sejarah superhero ini terus
berlanjut. Hal ini sangat kasat mata ketika Soeharto berkuasa. Ia buat
sejarahnya sendiri sebagai pahlawan dalam Serangan Umum 1 Maret dan
sebagai penumpas gerombolan liar PKI yang katanya akan merongrong
Pancasila. Sebagaimana para leluhurnya yang gila akan nama
kebesaran—raja-raja Mataram selalu bergelar Hamengkubuwono (pemangku
dunia) dan Pakubuwono (paku dunia)—Soeharto pun mengangkat dirinya
sebagai "Bapak Pembangunan". Sejarah-sejarah seperti inilah yang menjadi
"sejarah resmi" di Indonesia hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa manusia
Indonesia sejak dalam kandungan sampai akan menjemput ajal dicecoki oleh
sejarah superhero.
Dalam bandul sejarah yang condong pada sejarah superhero itulah bayangbayang
mitos begitu kuatnya sehingga menelan fakta. Ia telah menelusup
pada pola pikir masyarakat.Mitos-mitos baru pun terus-menerus direproduksi.
Tak sadar bahwa mitos-mitos tersebut telah melenakan dan semakin
melapukkan sejarah itu sendiri.
Penjajahan Sejarah
Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Orientalisme, Erdwad W Said,
memaparkan tentang dominasi Barat dalam menciptakan pandangan tunggal.
Ia memaparkan bahwa Barat membuat penilaian tentang Timur. Dalam
pandangan Barat, Timur merupakan sekumpulan "bangsa irasional, lemahlembut
dan eksotis". Sedangkan dalam memberikan penilaian terhadap dirinya
sendiri mereka menyebut sebagai "bangsa yang rasional, penuh perhitungan
dan dinamis". Dengan penilaian seperti itu bangsa Barat ingin memberikan
citra bahwa mereka berbeda dengan bangsa lain yang ada di Timur.
Tak terasa, penilaian yang dilakukan oleh Barat tersebut termakan oleh
bangsa-bangsa Timur. Mereka menjadi alpa menilai diri mereka sendiri dan
menyerahkan semuanya terhadap Barat. Mereka memandang diri mereka lebih
rendah dari Barat. Mereka merasa tak layak hidup sejajar dengan Barat. Dari
proses seperti inilah penjajahan sejarah bermula, dan kemudian berujung pada
penjajahan sebuah bangsa.
Memang masih jarang yang mengupas penjajahan sejarah ini. Para aktivis
maupun intelektual selama ini gaduh berdebat tentang penjajahan ekonomi
dan politik, masih jarang memperdebatkan penjajahan sejarah ini. Padahal
penjajahan sejarah tak kalah berbahaya dari bentuk-bentuk penjajahan yang
lainnya. Apabila hal ini tak dilawan maka apa yang pernah dikatakan Milan
Kundera, "maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan
apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau, akan benar-benar
mewujud."
Sebuah bangsa yang telah terjajah sejarahnya akan tumbuh menjadi bangsa
yang rapuh. Mereka akan kehilangan kebanggaan terhadap dirinya sendiri.
Mereka akan lupa tentang jati dirinya. Maka ketika suatu bangsa sudah
kehilangan kepercayaan diri dan buta akan dirinya sendiri, ia akan mudah
terombang-ambing. Akibatnya, sebagai pegangan mereka akan berpegangan
pada bangsa yang menurut mereka lebih "kuat" dan "maju". Dan, secara tak
sadar mereka telah jatuh pada cengkraman negara lain.
Penjajahan sejarah ini sangat efektif untuk melakukan penjajahan terhadap
sebuah bangsa secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah yang akhir-akhir ini
digembor-gemborkan oleh AS dan sekutunya tentang terorisme. Mereka
menciptakan sejarah baru bahwa Afganistan dan Irak merupakan "sarang
teroris". Dengan sejarah rekaan tersebut telah melapangkan jalan bagi mereka
untuk melakukan invasi/penjajahan. Alasan mereka yang sebenarnya,
menguasi sumber minyak di Timur Tengah, bisa mereka tutup-tutupi dengan
dalih mengejar gembong teroris.
Arnold Toynbee dalam karyanya Mankind and Mother Earth A Narrative
History of Word (1975), memberikan pemaparan bahwa penjajahan sejarah
telah membuat sejarah hanya berisikan masa lalu yang mengarah pada kuasa
pengaruh Barat. Akibatnya, peristiwa-peristiwa masa lalu lainnya dianggap
tidak relevan dan karena oleh itu bisa diabaikan. Lebih lanjut Toynbee
memberikan uraian bahwa akibat westernisasi sejarah tersebut, negara-negara
yang terbaratkan menjadi subordinat dan terpinggirkan.
Membongkar Sebuah Kebohongan
Kisah hidup Dracula merupakan salah satu
contoh bentuk penjajahan sejarah yang begitu
nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo
merupakan suatu fiksi yang kemudian
direproduksi agar seolah-olah menjadi nyata oleh
Barat, maka Dracula merupakan kebalikannya,
tokoh nyata yang direproduksi menjadi fiksi.
Bermula dari novel buah karya Bram Stoker
yang berjudul Dracula, sosok nyatanya kemudian
semakin dikaburkan lewat film-film seperti
Dracula’s Daughter (1936), Son of Dracula
(1943), Horror of Dracula (1958), Nosferatu
(1922)—yang dibuat ulang pada tahun
1979—dan film-film sejenis yang terus-menerus
diproduksi.
Lantas, siapa sebenarnya Dracula itu?
Dalam buku berjudul "Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib"
karya Hyphatia Cneajna ini, sosok Dracula dikupas secara tuntas. Dalam buku
ini dipaparkan bahwa Dracula merupakan pangeran Wallachia, keturunan Vlad
Dracul. Dalam uraian Hyphatia tersebut sosok Dracula tidak bisa dilepaskan
dari menjelang periode akhir Perang Salib. Dracula dilahirkan ketika
peperangan antara Kerajaan Turki Ottoman (sebagai wakil Islam) dan Kerajaan
Honggaria, (sebagai wakil Kristen) semakin memanas. Kedua kerajaan
tersebut berusaha saling mengalahkan untuk merebutkan wilayah-wilayah
yang bisa dikuasai, baik yang berada di Eropa maupun Asia. Puncak dari
peperangan ini adalah jatuhnya Konstantinopel, benteng Kristen, ke dalam
penguasaan Kerajaan Turki Ottoman.
Dalam babakan Perang Salib di atas, Dracula
merupakan salah satu panglima pasukan Salib.
Dalam perang inilah Dracula banyak melakukan
pembantaian terhadap umat Islam. Hyphatia
memperkirakan jumlah korban kekejaman Dracula
mencapai 300.000 ribu umat Islam. Korban-korban
tersebut dibunuh dengan berbagai cara—yang caracara
tersebut bisa dikatakan sangat biadab—yaitu
dibakar hidup-hidup, dipaku kepalanya, dan yang
paling kejam adalah disula. Penyulaan merupakan cara penyiksaan yang amat
kejam, yaitu seseorang ditusuk mulai dari anus dengan kayu sebesar lengan
tangan orang dewasa yang ujungnya dilancipkan. Korban yang telah ditusuk
kemudian dipancangkan sehingga kayu sula menembus hingga perut,
kerongkongan, atau kepala. Sebagai gambaran bagaimana situasi ketika
penyulaan berlangsung penulis mengutip pemaparan Hyphatia:
"Ketika matahari mulai meninggi Dracula memerintahkan penyulaan segera
dimulai. Para prajurit melakukan perintah tersebut dengan cekatan seolah
robot yang telah dipogram. Begitu penyulaan dimulai lolong kesakitan dan jerit
penderitaan segera memenuhi segala penjuru tempat itu. Mereka, umat Islam
yang malang ini sedang menjemput ajal dengan cara yang begitu mengerikan.
Mereka tak sempat lagi mengingat kenangan indah dan manis yang pernah
mereka alami."
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban
penyulaan, tapi juga bayi. Hyphatia memberikan
pemaparan tetang penyulaan terhadap bayi sebagai
berikut:
"Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis lagi
karena mereka langsung sekarat begitu ujung sula
menembus perut mungilnya. Tubuh-tubuh para
korban itu meregang di kayu sula untuk menjemput
ajal."
Kekejaman seperti yang telah dipaparkan di atas itulah yang selama ini
disembunyikan oleh Barat. Menurut Hyphatia hal ini terjadi karena dua sebab.
Pertama, pembantaian yang dilakukan Dracula terhadap umat Islam tidak bisa
dilepaskan dari Perang Salib. Negara-negara Barat yang pada masa Perang
Salib menjadi pendukung utama pasukan Salib tak mau tercoreng wajahnya.
Mereka yang getol mengorek-ngorek pembantaian Hilter dan Pol Pot akan
enggan membuka borok mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi tabiat Barat
yang selalu ingin menang sendiri. Kedua, Dracula merupakan pahlawan bagi
pasukan Salib. Betapapun kejamnya Dracula maka dia akan selalu dilindungi
nama baiknya. Dan, sampai saat ini di Rumania, Dracula masih menjadi
pahlawan. Sebagaimana sebagian besar sejarah pahlawan- pahlawan pasti
akan diambil sosok superheronya dan dibuang segala kejelekan, kejahatan dan
kelemahannya.
Guna menutup kedok kekejaman mereka, Barat
terus-menerus menyembunyikan siapa sebenarnya
Dracula. Seperti yang telah dipaparkan di atas, baik
lewat karya fiksi maupun film, mereka berusaha
agar jati diri dari sosok Dracula yang sebenarnya
tidak terkuak. Dan, harus diakui usaha Barat untuk
mengubah sosok Dracula dari fakta menjadi fiksi ini
cukup berhasil. Ukuran keberhasilan ini dapat dilihat
dari seberapa banyak masyarakat—khususnya
umat Islam sendiri—yang mengetahui tentang
siapa sebenarnya Dracula. Bila jumlah mereka
dihitung bisa dipastikan amatlah sedikit, dan
kalaupun mereka mengetahui tentang Dracula bisa
dipastikan bahwa penjelasan yang diberikan tidak
akan jauh dari penjelasan yang sudah umum selama ini bahwa Dracula
merupakan vampir yang haus darah.
Selain membongkar kebohongan yang dilakukan oleh Barat, dalam bukunya
Hyphatia juga mengupas makna salib dalam kisah Dracula. Seperti yang telah
umum diketahui bahwa penggambaran Dracula yang telah menjadi fiksi tidak
bisa dilepaskan dari dua benda, "bawang putih" dan "salib". Konon kabarnya
hanya dengan kedua benda tersebut Dracula akan takut dan bisa dikalahkan.
Menurut Hyphatia pengunaan simbol salib merupakan cara Barat untuk
menghapus pahlawan dari musuh mereka—pahlawan dari pihak Islam—dan
sekaligus untuk menunjukkan superioritas mereka.
Siapa pahlawan yang berusaha
dihapuskan oleh Barat tersebut? Tidak
lain Sultan Mahmud II (di Barat
dikenal sebagai Sultan Mehmed II).
Sang Sultan merupakan penakluk
Konstantinopel yang sekaligus penakluk
Dracula. Dialah yang telah mengalahkan
dan memenggal kepala Dracula di tepi
Danau Snagov. Namun kenyataan ini
berusaha dimungkiri oleh Barat. Mereka
berusaha agar merekalah yang bisa
mengalahkan Dracula. Maka diciptakanlah sebuah fiksi bahwa Dracula hanya
bisa dikalahkan oleh salib. Tujuan dari semua ini selain hendak mengaburkan
peranan Sultan Mahmud II juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa
merekalah yang paling superior, yang bisa mengalahkan Dracula si Haus
Darah. Dan, sekali lagi usaha Barat ini bisa dikatakan berhasil.
Selain yang telah dipaparkan di atas, buku ini juga memuat hal-hal yang
selama ini tersembunyi sehingga belum banyak diketahui oleh masyarakat
secara luas. Misalnya tentang kuburan Dracula yang sampai saat ini belum
terungkap dengan jelas, keturunan Dracula, macam-macam penyiksaan
Dracula dan sepak terjang Dracula yang lainnya.
Sebagai penutup tulisan ini penulis ingin menarik suatu kesimpulan bahwa
suatu penjajahan sejarah tidak kalah berbahayanya dengan bentuk penjajahan
yang lain: politik, ekonomi, budaya, dll. Penjajahan sejarah ini dilakukan
secara halus dan sistematis, yang apabila tidak jeli maka kita akan
terperangkap di dalamnya. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap sejarah
merupakan hal yang amat dibutuhkan agar kita tidak terjerat dalam
penjajahan sejarah. Sekiranya buku karya Hyphatia ini—walaupun masih
merupakan langkah awal—bisa dijadikan pengingat agar kita selalu kritis
terhadap sejarah karena ternyata penjajahan sejarah itu begitu nyata ada di
depan kita.

Tidak ada komentar:

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
free counters